Senin, 08 Juni 2015

linguistik- semiotika

I.     PENDAHULUAN
           
            Tiap kata memilik beberapa makna, dengan bahasa atau susunan kalimatnya masing masing memiliki interpretasi sendiri. Namun begitu juga dengan gambar, lukisan, foto, bahkan seni? Dapatkah interpretasi atau hanya sebagai ilustrasi? Maka dengan ini, muncullah ilmu yang membahas hal demikian yang disebut de studi of sign (semiotika).
            Seperti yang dijelaskan Yasraf, metode semiotika selalu beroperasi pada dua jenjang analisis. Pertama, analisis tanda secara individual, misalnya jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda, dan makna tanda secara individual. Kedua, analisis tanda sebagai sebuah kelompok tanda  tanda yang membentuk apa yang disebut teks. Teks yang paling sederhana adalah kombinasi tanda  tanda.
            Dalam makalah ini pemakalah lebih memfokuskan masalah kepada :
ü Apa yang dimaksud dengan semiotic
ü Apa yang dimaksud dengan bahasa sebagai tanda
ü Macam – macam dari elemen dasar semiotika
ü Apa maksud dari langue dan parole


II.  PEMBAHASAN

A.    Defenisi Semiotik
            Semiotika atau semiotic berasal dari kata Yunani, semeion yang berarti tanda. Menurut Umberto Eco, tanda itu sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain atas dasar konvensi sosial.[1] Semiotika adalah memberi tekanan pada teori, tanda dan pemahaman dalam suatu konteks tertentu.[2] Istilah semiotika sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Dalam kedua istilah ini tidak terdapat perbedaan yang subtantif. Biasanya semiotika lebih mengarah pada tradisi Piercean, sementara istilah semiologi lebih mengarah kepada Saussure. Namun yang jelas, keduanya merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara signs (tanda tanda) berdasarkan kode kode tertentu. Tanda tanda tersebut akan tampak pada tindak komonikasi manusia lewat bahasa, baik lisan maupun isyarat.
            Bagi Pierce, semiotika adalah suatu cabang dari filsafat sedangkan bagi Saussure,  semiologi adalah bagian dari disiplin ilmu psikologi social. Istilah semiologi lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi tradisi linguistik Saussurean; sementara istilah semiotika mereka cenderung dipakai oleh para penutur bahasa inggris atau mereka yang mewarisi tradisi Piercean.[3]
            Menurut Umberto Eco dalam buku Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, semiotika adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Pendapatnya ini sangat mencengangkan banyak orang secara eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta dalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri. Dalam defenisi Umberto Eco dikatakan bahwa jika semiotika adalah sebuah teori kedustaan, maka ia sekaligus adalah tori kebenaran. Sebab, jika sebuah tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, maka ia tidak pula digunakan untuk mengungkapkan kedustaan.
            Jadi, semiotika adalah ilmu tentang tanda tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena social atau masyarakat dan kebudayaannya merupakan tanda tanda. Artinya, semiotika mempelajari sistem sistem, aturan aturan, konfensi yang memungkinkan tanda tanda tersebut memiliki arti. Dengan kata lain, semiotika mempelajari relasi diantara komponen komponen tanda, serta relasi antara komponen komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya.
            Namun jika mengikuti Chales Morris, seorang filsuf yang menaruh perhatian atas tanda tanda,  pada dasarnya semiotika dibedakan kedalam tiga cabang penyelidikan yaitu sintaktika (sintaksis), semantika (semantic), dan pragmatika (pragmatic).
            Sintaktika adalah cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda lainnya. Dengan kata lain, karena hubungan hubungan formal ini merupakan kaidah kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, maka pengertian sintaksis kurang lebih adalah semacam “gramatika”.
            Semantika adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan antara tanda tanda dengan designata atau objek yang diacunya. Yang dimaksud dengan designata adalah makna tanda tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.
            Pragmatika adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan diantara tanda tanda dengan interpreter interpreter atau para pemakai tanda tanda. Pragmatika secara khusus berurusan dengan aspek aspek komonikasi, khususnya fungsi fungsi situasional yang melatari tuturan.[4]
           
B.     Bahasa sebagai tanda
            Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu pengertian, sehingga seringkali membingungkan. Misalnya, ada yang mengtakan bahwa bahasa adalah alat komonikasi.
            Dalam wacana linguistik, bahasa diberi pengertian sebagai symbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi, yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagi alat komonikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan fikiran. Alexs Sobur mengatakan dalam buku kontribusi semiotika dalam memahami bahasa agama, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis, sehingga bisa digunakan sebagai alat komonikasi. Bahasa (kata) itu sendiri merupakan bagian integral yang dipakai oleh kelompok masyarakatnya. Itu sebabnya kata, bahasa bersifat simbolis.
            Istilah bahasa dapat digunakan dalam pengertian harfiyah metaforis. Dalam pengertian harfiah, istilah bahasa mengacu pada bahasa biasa, yang alami, yang dipakai secara keseharian. Sedangkan dalam pengertian metaforis, istilah bahasa mengacu pada berbagai cara berkomonikasi atau berkontak (isyarat, atau simbol lainnya). Dari dua istilah ini dapat dikatakan bahwa linguistic berurusan dengan bahasa biasa, yang alami, dan yang dipakai dalam keseharian.
            Dalam dunia semiotika (ilmu tanda), seperti ungkap Ferdinand, bahasa dianggap sebagai tanda (sign) yang memiliki komponen signifiante dan signifiye. Melakukan analisis tentang tanda orang harus tahu benar mana aspek material dan mana aspek mental. Kedua aspek ini merupakan aspek aspek konstitutif suatu tanda, tanpa salah satu unsure ini tidak akan ada sebuah tanda dan kita tidak bisa membicarakannya, dan bahkan tidak bisa membayangkannya.
            Selain tanda, ada istilah lain yang seringkali dipersamakan, yaitu symbol dan lambing. Dalam bahasa komonikasi, symbol sering diistilahkan sebagai lambing. Lambing sebenarnya juga adalah tanda. Hanya bedanya lambing tidak member tanda secara langsung, melainkan melalui sesuatu yang lain. Misalnya, warna merh pada bendera sang merah ptih merupakan lambang “ keberanian”, dan lambang putih melambangkan “kesucian”.

C.     Elemen dasar semiotika
                      Pembahasan mengenai elemen dasar semiotika ini dibatasi pada tiga persoalan. Yaitu:
1.      Komponen tanda
            Dalam perkembangannya, semiotika menganut dikotomi bahasa yang dikembangkan Saussure, yaitu tanda (sign) memiliki hubungan antara penanda (significant/signifier) dan petanda (signifiye/signifiyed). Penanda adalah aspek material, seperti suara, huruf, bentuk, gambar, dan gerak, sedangkan petanda adalah aspek mental atau konseptual yang ditujuk oleh aspek material. Kedua aspek ini, yaitu penanda dan petanda kemudian disebut komponen tanda. Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda, sedang konsepnya adalah petanda. Sehingga keberadaan dua unsur ini tidak bisa dipisahkan, dan pemisahan hanya akan mengaburkan pengertian kata (tanda) itu sendiri.
            Menurut Abdul Chaer, setiap tanda linguistic terdiri dari unsur bunyi dan unsure makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam bahasa (Intralingual) yang biasa merujuk atau mengacu pada referen yang merupakan unsur luar bahasa (Ekstralingual). Misalnya, buku, ini merupakan tanda yang terdiri dari unsur makna atau yang diartikan, dan unsur bunyi dalam wujud fonem ( B, U, K, U) yang mengartikan. Kemudian tanda “buku” mengacu pada satu referen yang berada diluar bahasa yang menjadi kesepakatan bersama.
            Meskipun antara penanda dan petanda tampak sebagai entitas namun keduanya hanya ada sebagai komponen tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa. Suara manusia dan binatang bisa dikatakan atau sebagai bahasa bilamana suara itu mengekspresikan, menyatakan, atau menyampaikan idea atau pengertian tertentu.

2.      Relasi tanda
            Didalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan konbinasinya dengan tanda-tanda lainnya didalam sebuah system. Analisis tanda berdasarkan system atau kombinasi yang lebih besar ini melibatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian, yang terdiri dari dua model relasi, yaitu relasi sintagmatik dan relasi paragdimatik.
            Relasi sintagmatik adalah sebuah relasi yang merujuk kepada hubungan inpraesentia diantara satu kata dengan kata-kata yang lain, atau antara satuan gramatikal dengan satuan gramatikal lain, didalam ujaran atau tindak tutur ( speech act). Karena tutuan selalu diekspresikan sebagai suatu rangkaian tanda-tanda verbal dalam dimensi waktu, maka relasi-relasi sintagmatik kadang disebuut juga relasi-relasi linier.
            Relasi paragdimatik adalah cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda berdasarkan aturan–atuaran atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.
            Kode adalah seperangkat aturan bersama atau konvensi yang didalamnya tanda-tanda yang dapat dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dikomunikasikan dari seseorang kepada orang lain.
            Meskipun bahasa sebagai sebuah system berisi tanda-tanda, tanda-tanda itu sendiri pada dasarnya bukanlah suatu yang tetap dan homogen. Perbedaan system langue menunjukan bahwa tanda memiliki mekanismenya sendiri dalam relasinya dengan tanda-tanda yang lain. Mekanisme itu adalah perbedaan. Misalnya, pasar dan pusar, kedua tanda ini memiliki diferensi yang jelas.
            Selain berfungsi memperjelas, diferensi tanda-tanda juga berfungsi memperlihatkan system relasi yang unik dalam bahasa. Bahasa, seperti yang dikatakan Saussure bukanlah subtansi tetapi bentuk. Bahasa selalu bergerak dalam relasi tanda yang tak ada ujung pangkalnya.namun hanya melalu diferensi, relasi itu dimungkinkan. Diferensi diciptakan identitas dalam tiap tanda. Misalnya, contoh yang dibuat Saussure la fliure du pommier (bunga apel) dan  da la fleur de la noblese (elit dikalangan bangsawan). Walaupun kata-kata fleur dicantumkan dalam kedua kalimat diatas, namun karena relasinya berbeda, identitas fleur pada kalimat pertama tidak sama dengan fleur pada kalimat kedua.

3.       Tingkatan tanda
            Rolland barthes mengembangkan dua tingkat pertandaan yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini, adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto Ahmad, berarti wajah Ahmad yang sesungguhnya.
            Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (terbuka terhadap berbagai kemungkingkinan). Ia menciptakan makna-makna lapis kedua yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga ia mengkonotasikan kasih sayang.
            Jadi, denotasi adalah makna paling nyata dari tanda, sedangkan konotasi adalah istilah yang menunjukan signifikasi tahap kedua. Menurut Alex Sobur, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap obyek sementara konotasi adalah bagaimana menggambarkan tanda tersebut.

D.    Langue dan Parole
            Dalam konsep Saussure, trio langage-langue-parole dipergunakan untuk menegaskan obyek kajian linguistiknya. Fenomena bahasa secara umum disebutnya langage , sedangkan langue dan parole merupakan bagian dari langage. Parole adalah manifestasi individu terhadap bahasa yang dapat memberikan makna, sedangkan langue adalah bahasa dalam prosesoisal. Menurut Mudjia Rahardjo, Saussure dalam hal ini menitik beratkan study linguistik pada langue.
Langue adalah bahasa sebagai obyek sosial yang murni,dan dengan demikian keberadaannya terletak diluar individu, yakni sebagai seperangkat konvensi-konvensi sistematik yang berperan penting didalam komunikasi. Menurut Kris Budiman, langue sama sekali bukan tindakan dan tak bisa pula dirancang, diciptakan, atau diubah secara pribadi karena ia pada hakekatnya merupakan kontak kolektif yang sungguh sungguh mesti dipatuhi apabila kita ingin bisa berkomunikasi. Menurut Martin Kerampen langue adalah suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut, seolah-olah kode tersebut telah disepakati bersama dimasa lalu diantara pemakai bahasa.
            Berkebalikan dengan itu, parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. Parole dapat dipandang,  pertama, sebagai kombinasi yang memungkinkan penutur mampu menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan fikiran-fikiran pribadinya. Kedua, parole pun dapat dipandang sebagai mekanisme psiko-fisik yang memungkinkan penutur menampilkan kombinasi tersebut. Menurut Kris Budiman parole merupakan penggunaan actual bahasa sebagai tindakan individu-individu.
            Menurut Alex Sobur, ada perbedaan subtansial antara langue dan parole, diantaranya : I). langue mempunyai obyek study berupa tanda atau kode, sementara parole adalah living speech, yaitu bahasa yang hidup, atau bahasa sebagaimana penggunaannya. II). Langue bersifat kolektif dan pemakaiannya tidak disadari oleh pengguna bahasa, sementara parole lebih memperthatikan faktor pribadi pengguna bahasa. III). Unit dasar langue adalah kata, sementara unit dasar parole adalah kalimat. IV). Langue bersifat sinkronik, dalam arti tanda itu dianggap baku sehingga mudah disusun sebagai system, sementara parole boleh dianggap bersifat diakronik, dalam arti sangat terikat oleh dimensi waktu saat terjadi proses pembicaraan.
            Terkait dengan bahasa agama, khususnya Al-Qur’an seperti yang dipahami  Nasr Hamid dengan meminjam kerangka berfikir de Saussure dimana konsep kalam ia bedakan dengan konsep Lughat. Lughat yang dimaksud setara dengan apa yang diistilahkan langue, yaitu bahasa pada wilayah historis yang dalam hal ini merupakan bagian dari kebudayaan, sedangkan kalam merupakan sisi parole. Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat social budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat individu.
            Karena itu, Al-qur’an yang historis tidak terpisah dari struktur budaya tempat ia terbentuk. Sumber teks sama sekali tidak mengesampingkan hakekat keberadaannya sebagai teks linguistic dengan segala inplikasi kebahasaannya. Teks terkait dengan ruang dan waktu dalam pengertian historis dan sosiologis. Teks tidak berada diluar kategori bahasa sehingga tidak memiliki kaitan apapun dengan manusia.


III.    KESIMPULAN
1.    semiotika adalah ilmu tentang tanda tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena social atau masyarakat dan kebudayaannya merupakan tanda tanda. Artinya, semiotika mempelajari sistem sistem, aturan aturan, konfensi yang memungkinkan tanda tanda tersebut memiliki arti. Dengan kata lain, semiotika mempelajari relasi diantara komponen komponen tanda, serta relasi antara komponen komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya. Menurut Chales Morris, seorang filsuf yang menaruh perhatian atas tanda tanda,  pada dasarnya semiotika dibedakan kedalam tiga cabang penyelidikan yaitu sintaktika (sintaksis), semantika (semantic), dan pragmatika (pragmatic).
2.    Dalam wacana linguistik, bahasa diberi pengertian sebagai symbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi, yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagi alat komonikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan fikiran. Alexs Sobur mengatakan dalam buku kontribusi semiotika dalam memahami bahasa agama, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis, sehingga bisa digunakan sebagai alat komonikasi. Bahasa (kata) itu sendiri merupakan bagian integral yang dipakai oleh kelompok masyarakatnya. Itu sebabnya kata, bahasa bersifat simbolis.
3.    Pembahasan mengenai elemen dasar semiotika ini dibatasi pada tiga persoalan. Yaitu: Komponen tanda, Relasi tanda, Tingkatan tanda
4.    Menurut Martin Kerampen langue adalah suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut, seolah-olah kode tersebut telah disepakati bersama dimasa lalu diantara pemakai bahasa.
Berkebalikan dengan itu, parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. Parole dapat dipandang, pertama, sebagai kombinasi yang memungkinkan penutur mampu menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan fikiran-fikiran pribadinya. Kedua, parole pun dapat dipandang sebagai mekanisme psiko-fisik yang memungkinkan penutur menampilkan kombinasi tersebut.





IV.   DAFTAR PUSTAKA


Budiman, Kris., Semiotika Visual., Jala sutra., 2011.

Muzakki, Ahmad., Kontribusi Semiotika Dalam Memahami Bahasa Agama., UIN Malang pres., 2007.




[1] Drs. Akhmad Muzakki, MA., “ Kontribusi Semiotika dalam  Memahami Bahasa agama”, hal 11
[2] Tommy Suprapto, “Pengantar Teori dan Manajemen Komonikasi”, hal 98
[3] Kris Budiman, semiotika Visual, 3-4
[4] Kontribusi Semiotika dalam Memahami bahasa Agama, hal 10-12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar