I.
PENDAHULUAN
Tiap
kata memilik beberapa makna, dengan bahasa atau susunan kalimatnya masing masing
memiliki interpretasi sendiri. Namun begitu juga dengan gambar, lukisan, foto,
bahkan seni? Dapatkah interpretasi atau hanya sebagai ilustrasi? Maka dengan
ini, muncullah ilmu yang membahas hal demikian yang disebut de studi of sign
(semiotika).
Seperti
yang dijelaskan Yasraf, metode semiotika selalu beroperasi pada dua jenjang
analisis. Pertama, analisis tanda secara individual, misalnya jenis tanda, mekanisme
atau struktur tanda, dan makna tanda secara individual. Kedua, analisis tanda
sebagai sebuah kelompok tanda tanda yang
membentuk apa yang disebut teks. Teks yang paling sederhana adalah kombinasi
tanda tanda.
Dalam
makalah ini pemakalah lebih memfokuskan masalah kepada :
ü Apa yang dimaksud dengan semiotic
ü Apa yang dimaksud dengan bahasa sebagai tanda
ü Macam – macam dari elemen dasar semiotika
ü Apa maksud dari langue dan parole
II.
PEMBAHASAN
A.
Defenisi
Semiotik
Semiotika
atau semiotic berasal dari kata Yunani, semeion yang berarti tanda.
Menurut Umberto Eco, tanda itu sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang dapat
mewakili sesuatu yang lain atas dasar konvensi sosial.[1] Semiotika
adalah memberi tekanan pada teori, tanda dan pemahaman dalam suatu konteks
tertentu.[2]
Istilah semiotika sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Dalam
kedua istilah ini tidak terdapat perbedaan yang subtantif. Biasanya semiotika
lebih mengarah pada tradisi Piercean, sementara istilah semiologi lebih
mengarah kepada Saussure. Namun yang jelas, keduanya merupakan ilmu yang mempelajari
hubungan antara signs (tanda tanda) berdasarkan kode kode tertentu. Tanda tanda
tersebut akan tampak pada tindak komonikasi manusia lewat bahasa, baik lisan
maupun isyarat.
Bagi
Pierce, semiotika adalah suatu cabang dari filsafat sedangkan bagi Saussure, semiologi adalah bagian dari disiplin ilmu
psikologi social. Istilah semiologi lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi
tradisi linguistik Saussurean; sementara istilah semiotika mereka cenderung
dipakai oleh para penutur bahasa inggris atau mereka yang mewarisi tradisi
Piercean.[3]
Menurut
Umberto Eco dalam buku Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama,
semiotika adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk berdusta. Pendapatnya ini sangat mencengangkan banyak orang
secara eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta dalam wacana
semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu
sendiri. Dalam defenisi Umberto Eco dikatakan bahwa jika semiotika adalah
sebuah teori kedustaan, maka ia sekaligus adalah tori kebenaran. Sebab, jika
sebuah tanda tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, maka ia tidak
pula digunakan untuk mengungkapkan kedustaan.
Jadi,
semiotika adalah ilmu tentang tanda tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena
social atau masyarakat dan kebudayaannya merupakan tanda tanda. Artinya,
semiotika mempelajari sistem sistem, aturan aturan, konfensi yang memungkinkan
tanda tanda tersebut memiliki arti. Dengan kata lain, semiotika mempelajari
relasi diantara komponen komponen tanda, serta relasi antara komponen komponen
tersebut dengan masyarakat penggunanya.
Namun
jika mengikuti Chales Morris, seorang filsuf yang menaruh perhatian atas tanda
tanda, pada dasarnya semiotika dibedakan
kedalam tiga cabang penyelidikan yaitu sintaktika (sintaksis), semantika
(semantic), dan pragmatika (pragmatic).
Sintaktika
adalah cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal diantara
satu tanda dengan tanda lainnya. Dengan kata lain, karena hubungan hubungan formal
ini merupakan kaidah kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, maka
pengertian sintaksis kurang lebih adalah semacam “gramatika”.
Semantika
adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan antara tanda
tanda dengan designata atau objek yang diacunya. Yang dimaksud dengan designata
adalah makna tanda tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.
Pragmatika
adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan diantara tanda
tanda dengan interpreter interpreter atau para pemakai tanda tanda. Pragmatika
secara khusus berurusan dengan aspek aspek komonikasi, khususnya fungsi fungsi
situasional yang melatari tuturan.[4]
B.
Bahasa
sebagai tanda
Kata
bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu pengertian, sehingga
seringkali membingungkan. Misalnya, ada yang mengtakan bahwa bahasa adalah alat
komonikasi.
Dalam
wacana linguistik, bahasa diberi pengertian sebagai symbol bunyi yang bermakna
dan berartikulasi, yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagi
alat komonikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan fikiran. Alexs
Sobur mengatakan dalam buku kontribusi semiotika dalam memahami bahasa agama,
bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis, sehingga bisa
digunakan sebagai alat komonikasi. Bahasa (kata) itu sendiri merupakan bagian
integral yang dipakai oleh kelompok masyarakatnya. Itu sebabnya kata, bahasa
bersifat simbolis.
Istilah
bahasa dapat digunakan dalam pengertian harfiyah metaforis. Dalam pengertian
harfiah, istilah bahasa mengacu pada bahasa biasa, yang alami, yang dipakai
secara keseharian. Sedangkan dalam pengertian metaforis, istilah bahasa mengacu
pada berbagai cara berkomonikasi atau berkontak (isyarat, atau simbol lainnya).
Dari dua istilah ini dapat dikatakan bahwa linguistic berurusan dengan bahasa
biasa, yang alami, dan yang dipakai dalam keseharian.
Dalam
dunia semiotika (ilmu tanda), seperti ungkap Ferdinand, bahasa dianggap sebagai
tanda (sign) yang memiliki komponen signifiante dan signifiye. Melakukan
analisis tentang tanda orang harus tahu benar mana aspek material dan mana
aspek mental. Kedua aspek ini merupakan aspek aspek konstitutif suatu tanda,
tanpa salah satu unsure ini tidak akan ada sebuah tanda dan kita tidak bisa
membicarakannya, dan bahkan tidak bisa membayangkannya.
Selain
tanda, ada istilah lain yang seringkali dipersamakan, yaitu symbol dan lambing.
Dalam bahasa komonikasi, symbol sering diistilahkan sebagai lambing. Lambing
sebenarnya juga adalah tanda. Hanya bedanya lambing tidak member tanda secara
langsung, melainkan melalui sesuatu yang lain. Misalnya, warna merh pada
bendera sang merah ptih merupakan lambang “ keberanian”, dan lambang putih
melambangkan “kesucian”.
C.
Elemen
dasar semiotika
Pembahasan mengenai elemen dasar
semiotika ini dibatasi pada tiga persoalan. Yaitu:
1.
Komponen
tanda
Dalam
perkembangannya, semiotika menganut dikotomi bahasa yang dikembangkan Saussure,
yaitu tanda (sign) memiliki hubungan antara penanda (significant/signifier) dan
petanda (signifiye/signifiyed). Penanda adalah aspek material, seperti suara,
huruf, bentuk, gambar, dan gerak, sedangkan petanda adalah aspek mental atau
konseptual yang ditujuk oleh aspek material. Kedua aspek ini, yaitu penanda dan
petanda kemudian disebut komponen tanda. Suara yang muncul dari sebuah kata
yang diucapkan merupakan penanda, sedang konsepnya adalah petanda. Sehingga
keberadaan dua unsur ini tidak bisa dipisahkan, dan pemisahan hanya akan
mengaburkan pengertian kata (tanda) itu sendiri.
Menurut Abdul
Chaer, setiap tanda linguistic terdiri dari unsur bunyi dan unsure makna. Kedua
unsur ini adalah unsur dalam bahasa (Intralingual) yang biasa merujuk atau
mengacu pada referen yang merupakan unsur luar bahasa (Ekstralingual).
Misalnya, buku, ini merupakan tanda yang terdiri dari unsur makna atau yang
diartikan, dan unsur bunyi dalam wujud fonem ( B, U, K, U) yang mengartikan.
Kemudian tanda “buku” mengacu pada satu referen yang berada diluar bahasa yang
menjadi kesepakatan bersama.
Meskipun antara
penanda dan petanda tampak sebagai entitas namun keduanya hanya ada sebagai
komponen tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa. Suara manusia
dan binatang bisa dikatakan atau sebagai bahasa bilamana suara itu
mengekspresikan, menyatakan, atau menyampaikan idea atau pengertian tertentu.
2.
Relasi
tanda
Didalam konteks
strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat dilihat hanya secara individu, akan
tetapi dalam relasi dan konbinasinya dengan tanda-tanda lainnya didalam sebuah
system. Analisis tanda berdasarkan system atau kombinasi yang lebih besar ini
melibatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian, yang terdiri dari dua model
relasi, yaitu relasi sintagmatik dan relasi paragdimatik.
Relasi sintagmatik
adalah sebuah relasi yang merujuk kepada hubungan inpraesentia diantara satu
kata dengan kata-kata yang lain, atau antara satuan gramatikal dengan satuan
gramatikal lain, didalam ujaran atau tindak tutur ( speech act). Karena tutuan
selalu diekspresikan sebagai suatu rangkaian tanda-tanda verbal dalam dimensi
waktu, maka relasi-relasi sintagmatik kadang disebuut juga relasi-relasi
linier.
Relasi
paragdimatik adalah cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda berdasarkan
aturan–atuaran atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi
bermakna.
Kode adalah
seperangkat aturan bersama atau konvensi yang didalamnya tanda-tanda yang dapat
dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dikomunikasikan dari seseorang
kepada orang lain.
Meskipun bahasa
sebagai sebuah system berisi tanda-tanda, tanda-tanda itu sendiri pada dasarnya
bukanlah suatu yang tetap dan homogen. Perbedaan system langue menunjukan bahwa
tanda memiliki mekanismenya sendiri dalam relasinya dengan tanda-tanda yang
lain. Mekanisme itu adalah perbedaan. Misalnya, pasar dan pusar, kedua tanda
ini memiliki diferensi yang jelas.
Selain berfungsi
memperjelas, diferensi tanda-tanda juga berfungsi memperlihatkan system relasi
yang unik dalam bahasa. Bahasa, seperti yang dikatakan Saussure bukanlah
subtansi tetapi bentuk. Bahasa selalu bergerak dalam relasi tanda yang tak ada
ujung pangkalnya.namun hanya melalu diferensi, relasi itu dimungkinkan.
Diferensi diciptakan identitas dalam tiap tanda. Misalnya, contoh yang dibuat
Saussure la fliure du pommier (bunga apel) dan da la fleur de la noblese (elit dikalangan
bangsawan). Walaupun kata-kata fleur dicantumkan dalam kedua kalimat diatas,
namun karena relasinya berbeda, identitas fleur pada kalimat pertama tidak sama
dengan fleur pada kalimat kedua.
3.
Tingkatan tanda
Rolland barthes
mengembangkan dua tingkat pertandaan yang memungkinkan untuk dihasilkannya
makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi.
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan
petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan
makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini, adalah
makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto Ahmad, berarti wajah Ahmad yang
sesungguhnya.
Konotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang
didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak
pasti (terbuka terhadap berbagai kemungkingkinan). Ia menciptakan makna-makna
lapis kedua yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek
psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga ia
mengkonotasikan kasih sayang.
Jadi, denotasi
adalah makna paling nyata dari tanda, sedangkan konotasi adalah istilah yang
menunjukan signifikasi tahap kedua. Menurut Alex Sobur, denotasi adalah apa
yang digambarkan tanda terhadap obyek sementara konotasi adalah bagaimana
menggambarkan tanda tersebut.
D.
Langue
dan Parole
Dalam
konsep Saussure, trio langage-langue-parole dipergunakan untuk
menegaskan obyek kajian linguistiknya. Fenomena bahasa secara umum disebutnya
langage , sedangkan langue dan parole merupakan bagian dari langage. Parole
adalah manifestasi individu terhadap bahasa yang dapat memberikan makna,
sedangkan langue adalah bahasa dalam prosesoisal. Menurut Mudjia Rahardjo,
Saussure dalam hal ini menitik beratkan study linguistik pada langue.
Langue adalah bahasa sebagai obyek
sosial yang murni,dan dengan demikian keberadaannya terletak diluar individu,
yakni sebagai seperangkat konvensi-konvensi sistematik yang berperan penting
didalam komunikasi. Menurut Kris Budiman, langue sama sekali bukan tindakan dan
tak bisa pula dirancang, diciptakan, atau diubah secara pribadi karena ia pada
hakekatnya merupakan kontak kolektif yang sungguh sungguh mesti dipatuhi
apabila kita ingin bisa berkomunikasi. Menurut Martin Kerampen langue adalah
suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa
tersebut, seolah-olah kode tersebut telah disepakati bersama dimasa lalu
diantara pemakai bahasa.
Berkebalikan
dengan itu, parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual.
Parole dapat dipandang, pertama,
sebagai kombinasi yang memungkinkan penutur mampu menggunakan kode bahasa untuk
mengungkapkan fikiran-fikiran pribadinya. Kedua, parole pun dapat
dipandang sebagai mekanisme psiko-fisik yang memungkinkan penutur menampilkan
kombinasi tersebut. Menurut Kris Budiman parole merupakan penggunaan actual
bahasa sebagai tindakan individu-individu.
Menurut
Alex Sobur, ada perbedaan subtansial antara langue dan parole, diantaranya :
I). langue mempunyai obyek study berupa tanda atau kode, sementara parole
adalah living speech, yaitu bahasa yang hidup, atau bahasa sebagaimana
penggunaannya. II). Langue bersifat kolektif dan pemakaiannya tidak disadari
oleh pengguna bahasa, sementara parole lebih memperthatikan faktor pribadi
pengguna bahasa. III). Unit dasar langue adalah kata, sementara unit dasar
parole adalah kalimat. IV). Langue bersifat sinkronik, dalam arti tanda itu
dianggap baku sehingga mudah disusun sebagai system, sementara parole boleh
dianggap bersifat diakronik, dalam arti sangat terikat oleh dimensi waktu saat
terjadi proses pembicaraan.
Terkait
dengan bahasa agama, khususnya Al-Qur’an seperti yang dipahami Nasr Hamid dengan meminjam kerangka berfikir de
Saussure dimana konsep kalam ia bedakan dengan konsep Lughat. Lughat yang
dimaksud setara dengan apa yang diistilahkan langue, yaitu bahasa pada wilayah
historis yang dalam hal ini merupakan bagian dari kebudayaan, sedangkan kalam
merupakan sisi parole. Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan
artikulasi bahasa pada tingkat social budaya, sedangkan parole merupakan
ekspresi bahasa pada tingkat individu.
Karena
itu, Al-qur’an yang historis tidak terpisah dari struktur budaya tempat ia
terbentuk. Sumber teks sama sekali tidak mengesampingkan hakekat keberadaannya
sebagai teks linguistic dengan segala inplikasi kebahasaannya. Teks terkait
dengan ruang dan waktu dalam pengertian historis dan sosiologis. Teks tidak
berada diluar kategori bahasa sehingga tidak memiliki kaitan apapun dengan
manusia.
III.
KESIMPULAN
1.
semiotika
adalah ilmu tentang tanda tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena social atau
masyarakat dan kebudayaannya merupakan tanda tanda. Artinya, semiotika
mempelajari sistem sistem, aturan aturan, konfensi yang memungkinkan tanda
tanda tersebut memiliki arti. Dengan kata lain, semiotika mempelajari relasi
diantara komponen komponen tanda, serta relasi antara komponen komponen
tersebut dengan masyarakat penggunanya. Menurut Chales Morris, seorang filsuf
yang menaruh perhatian atas tanda tanda,
pada dasarnya semiotika dibedakan kedalam tiga cabang penyelidikan yaitu
sintaktika (sintaksis), semantika (semantic), dan pragmatika (pragmatic).
2.
Dalam
wacana linguistik, bahasa diberi pengertian sebagai symbol bunyi yang bermakna
dan berartikulasi, yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagi
alat komonikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan fikiran.
Alexs Sobur mengatakan dalam buku kontribusi semiotika dalam memahami bahasa
agama, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis, sehingga
bisa digunakan sebagai alat komonikasi. Bahasa (kata) itu sendiri merupakan
bagian integral yang dipakai oleh kelompok masyarakatnya. Itu sebabnya kata,
bahasa bersifat simbolis.
3.
Pembahasan
mengenai elemen dasar semiotika ini dibatasi pada tiga persoalan. Yaitu: Komponen
tanda, Relasi tanda, Tingkatan tanda
4.
Menurut
Martin Kerampen langue adalah suatu sistem kode yang diketahui oleh semua
anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut, seolah-olah kode tersebut telah
disepakati bersama dimasa lalu diantara pemakai bahasa.
Berkebalikan
dengan itu, parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual.
Parole dapat dipandang, pertama, sebagai kombinasi yang memungkinkan
penutur mampu menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan fikiran-fikiran
pribadinya. Kedua, parole pun dapat dipandang sebagai mekanisme
psiko-fisik yang memungkinkan penutur menampilkan kombinasi tersebut.
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiman, Kris., Semiotika Visual.,
Jala sutra., 2011.
Muzakki, Ahmad., Kontribusi Semiotika
Dalam Memahami Bahasa Agama., UIN Malang pres., 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar