I.
PENDAHULUAN
Tasawuf Akhlaki adalah ajaran
tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang
diformulasikan pada pengaturan sifat mental dan pendisiplinan tingkah laku
secara ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal. Manusia harus
mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri ketuhanan melalui penyucian
jiwa dan raga. Sebelumnya, dilakukan terlebih dahulu pembentukan pribadi yang
berakhlak mulia. Tahapan tahapan itu dalam ilmu tasawuf dikenal dengan takhalli
(pengosongan diri dari sifat sifat tercela), tahalli (menghiasi diri
dengan sifat sifat terpuji), tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati
yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan). [1]
Dalam
makalah ini akan membahas pokok masalah tentang:
1.
Apa
itu Takhalli?
2.
Apa
itu Tahalli?
3.
Apa
itu Tajalli?
II.
PEMBAHASAN
A.
TAKHALLI
Takhalli
berarti membersihkan diri dari sifat sifat tercela, dari maksiat lahir dan
maksiat bathin.[2]Maksiat
lahir, melahirkan kejahatan kejahatan yang merusak seseorang dan mengacaukan
masyarakat. Adapun maksiat bathin lebih berbahaya lagi, karena tidak kelihatan
dan biasanya kurang disadari dan sukar dihilangkan. Maksiat bathin itu adalah
pembangkit maksiat lahir dan selalu menimbulkan kejahatan kejahatan baru yang
diperbuat oleh anggota badan manusia. Dan kedua maksiat itulah yang mengotori
jiwa manusia setiap waktu dan kesempatan yang diperbuat oleh diri sendiri tanpa
disadari. Semua itu merupakan hijab atau dinding yang membatasi diri dengan
Tuhan.[3]
Sifat
sifat yang mengotori jiwa manusia itu adalah seperti dzalim, bakhil, berbuat
dosa besar, berlaku sia sia, berlebih lebihan dalam segala hal, bermegah megah,
khianat, dendam, dengki, dusta, kufur ni’mat, bunuh diri, ria, mencuri, sombong
dan meminum khamr.
Takhalli
juga berarti mengosongkan diri dari akhlak tercela. Salah satu akhlak tercela
yang paling banyak menyebabkan timbulnya akhlak tercela lainnya adalah
ketergantungan pada kenikmatan duniawi.
Membersihkan
diri sifat sifat tercela oleh kaum sufi dipandang penting karena sifat sifat
ini merupakan najis maknawi (najasah ma’nawwiyah). Adanya najis najis
ini pada diri seseorang, menyebabkannya tidak dapat dekat dengan Tuhan. Hal ini
sebagaimana mempunyai najis dzat(najasah dzatiayyah), yang menyebabkan
seseorang tidak dapat beribadah kepada Tuhan.
Dasar
dari ajaran tasawuf tentang takhalli ini adalah firman Allah Qs Asy-syams 9-10
yang berbunyi:
ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢y ÇÊÉÈ
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu,
Dalam
hal menanamkan rasa benci terhadap kehidupan duniawi serta mematikan hawa
nafsu, para sufi berbeda pendapat.
Sekelompok
sufi yang modern berpendapat bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi , yaitu
sekedar tidak melupakan tujuan hidupnya, namun tidak meninggalkan duniawi sama
sekali. Demikian pula dengan pematian hawa nafsu itu cukup dikuasai melalui
pengaturan disiplin kehidupan. Golongan ini tetap memanfaatkan dunia sekedar
kebutuhannya dengan mengontrol dorongan nafsu yang dapat mengganggu stabilitas
akal dan perasaan.
Sementara itu kelompok sufi yang ekstrim
berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi merupakan racun pembunuh kelangsungan cita
cita sufi. Persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan karena nafsu yang
bertendensi duniawi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan menuju tujuan
yaitu memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki.[5]
B.
TAHALLI
Tahalli
adalah upaya menghiasi diri dengan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan
kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak akhlak tercela. Tahalli juga
berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan perbuatan baik.
Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan
agama, baik kewajiban yang bersifat luar maupun yang bersifat dalam. Kewajiban
yang bersifat luar adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat,
puasa, dan haji. Adapun kewajiban yang bersifat dalam, contohnya yaitu iman,
ketaatan, dan kecintaan kepada Tuhan.
Tahalli
merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli.
Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sikap mental yang
buruk dapat dilalui (takhalli), usaha itu harus berlanjut terus ketahap
berikutnya yang disebut tahalli. Sebab apabila satu kebiasaan telah dilepaskan
tetapi tidak ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi.
Oleh karena itu, ketika kebiasaan lama ditinggalkan harus segala di isi
kebiasaan baru yang baik.[6]
Dasar
dari tahalli ialah firman Allah Q.S An Nahl: 90 yang berbunyi:
* ¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs?
ÇÒÉÈ
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[7]
Menurut
Al Ghazali, jiwa manusia dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan dibentuk sesuai
dengan kehendak manusia itu sendiri. Perbuatan baik yang sangat penting di isikan
kedalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan agar menjadi manusia
paripurna (insane kamil). Perbuatan baik itu, antara lain sebagai berikut:
a.
Taubat
Kebanyakan sufi menjadikan taubat sebagai perhentian awal dijalan
menuju Allah. Pada tingkatan terendah, taubat menyangkut dosa yang dilakukan
anggota badan. Pada tingkat menengah, taubat menyangkut pangkal dosa dosa,
seperti dengki, sombong, dan ria. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat
menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa
bersalah. Pada tingkat terakhir, taubat berarti penyesalan atas kelengahan
pikiran dalam mengingat Allah. Taubat pada tingkat ini adalah penolakan
terhadap segala sesuatu yang dapat memalingkan dari jalan Allah.
Al Ghazali mengklasifikasikan taubat menjadi tiga tingkatan yaitu:
·
Meninggalkan
kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut
terhadap siksa Allah.
·
Beralih
dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi. Dalam
tasawuf keadaan ini sering disebut dengan inabah
·
Rasa
penyeslan yang dilakukan semata mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah
hal ini disebut aubah
b.
Khauf dan Raja’
Bagi kalangan sufi khauf dan raja’ berjalan seimbang dan saling
mempengaruhi. Khauf adalah perasaan takut seorang hamba semata mata kepada
Allah, sedangkan Raja’ adalah perasaan hati yang senag karena menati sesuatu
yang diinginkan dan disenangi.
Menurut Al Ghazali, Raja’ adalah rasa lapang hati dalam menantikan
hal yang diharapkan pada masa yang akan datang yang mungkin terjadi. Raja’
merupakan sikap hidup yang selalu mendorong seseorang untuk lebih banyak
berbuat dan beramal shaleh sehingga menjadi taat kepada Allah dan Rasul NYA.
Biasanya orang yang memiliki sikap Raja’ juga memiliki sikap Khauf.
Khauf dan raja’ saling berhubungan, kekurangan Khauf akan
menyebabkan seseorang lalai daan berani berbuat maksiat, sedangkan Khauf yang
berlebihan akan menjadikan seseorang menjadi putus asa dan pesimistis.
Keseimbangan antara Khauf dan Raja’ sama sama penting karena tanpa Raja’, orang
akan serba khawatir, tidak mempunyai gairah hidup, serba takut, dan pesimistis.
Dimilikinya Khauf dalam kadar sedang akan membuat orang senatiasa waspada dan
hati hati dalam berperilaku agar terhindar dari ancaman.
Dengan dmikian dua sikap tersebut merupakan sikap mental yang
bersifat introspeksi, mawas diri, dan selalu memikirkan kehidupan yang akan
datang, yaitu kehidupan abadi di alam akhirat.
c.
Zuhud
Zuhud yaitu ketidak tertarikan pada dunia atau harta benda. Zuhud
terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu:
v Zuhud yang terendah adalah menjauhkan diri dari dunia ini agar
terhindar dari hukuman di akhirat.
v Menjauhi dunia dengan menimbang imbalan akhirat
v Merupakan maqam tertinggi adalah mengucilkan dunia bukan karena
takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah.
Orang yang
berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah,
tidak mempunyai arti apa apa. Sesuai dengan pandangan sufi, hawa nafsu
duniwilah yang menjadi sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan
seseorang kepada hawa nafsu, mengakibatkan kebrutalan dalam mengejar kepuasan
nafsunya. Dorongan jiwa yang ingin menikmati kehidupan dunia akan menimbulkan
kesenjangan antar manusia dengan Allah.
Al Ghazali
mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterikatan kepada dunia untuk
kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran.
Al Qusyairi mengartikan
zuhud sebagai suatu sikap menerima rezeki yang diperolehnya. Jika kaya, ia
tidak merasa bangga dan gembira. Sebaliknya, jika miskin iapun tidak bersedih.
Hasan Al Bashri
mengatakan bahwa Zuhud itu meninggalkan kehidupan dunia kerena dunia itu seperti
ular, licin jika dipegang tetapi racunnya dapat membunuh.
Inti dan tujuan
zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir.
d.
Fakir
Fakir bermakna tidak menuntut lebih banyak dan merasa puas dengan
apa yang sudah dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental
fakir merupakan benteng pertahana yang kuat dalam menghadapi pengaruh dalam
menghadapi kehidupan materi. Hal ini karena sikap fakir dapat menghindarkan
seseorang dari semua keserakahan. Dengan demikian, pada prinsipnya sikap mental
fakir merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi
kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya sekadar pendisiplinan diri dalam
memanfaatkan fasilitas hidup. Sikap fakir dapat memunuculkan sikap wara’, yaitu
sikap berhati hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas
masalahnya. Apabila bertemu dengan satu persoalan baik yang bersifat materi
maupun non materi yang tidak pasti hukumnya lebih baik dihindari.
e.
Sabar
Menurut Al Ghazali, sabar adalah suatu kondidi jiwa yang terjadi
karena adanya dorongan ajaran agama dalam mengendalikan hawa nafsu. Dengan
demikian, sabar berarti konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah,
menghadapi kesulitan, dan tabah dalam menghadapi cobaan selama dalam perjuangan
untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, sabar erat hubungannya dengan
pengendalian diri, sikap dan emosi. Apabila seseorang telah mapu mengendalikan
nafsunya, maka sikap sabar akan tercipta.
Tercapainya karakter sabar merupakan respon dari keyakinan yang dipertahankan.
Keyakinan adalah landasan sabar, apabila seseorang telah yakin bahwa jlan yang
ditempuhnya benar, maka ia akan teguh dalam pendiriannya walaupun menghadapi
tantangan.
Al Ghazali membedakan tingkatan sabar, menjadi iffah, hilm, qana’ah
dan syaja’ah. Iffah ialah kemampuan mengatasi hawa nafsu. Hilm merupakan
kesanggupan seseorang menguasai diri agar tidak marah. Qana’ah yaitu ketabahan
hati untuk meneriman nasib. Adapun syaja’ah yaitu sifat pantang menyerah.
f.
Ridha
Menurut Ibnu Ajibah, ridha adalah menerima hal hal yang tidak
menyenangkan dengan wajah senyum ceria. Seorang hamba dengan senag hati
menerima qadha dari Allah dan tidak mengingkari apa yang telah menjadi
keputusanNYA.[8]
Sikap mental ridha merupakan perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang
diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati untuk berkorban
demi yang dicintai. Seorang hamba yang ridha, ia rela menuruti apa yang
dikehendaki Allah dengan senang hati, sekaligus tidak dibarengi sikap menentang
dan menyesal.
g.
Muraqabah
Muraqabah adalah mawas diri. Muraqabah mempunyai arti yang mirip
dengan introspeksi. Dengan kata lain, muraqabah adalah siap dan siaga setiap
saat untuk meneliti keadaan sendiri. Seorang calon sufi sejak awal sudah
diajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah. Seluruh
aktifitas hidupnya ditujukan untuk berada sedekat mungkin denganNYA. Ia sadar
bahwa Allah “memandang” NYA. Kesadaran itu membawanya pada satu sikap mawas
diri atau muraqabah.[9]
C.
TAJALLI
Tajalli ialah hilangnya hijab dari sifat sifat
kebasyariyyahan (kemanusiaan), jelasnya nur yang sebelumnya ghaib, dan fananya
segala sesuatu ketika tampaknya wajah Allah. Kata tajalli bermakna terungkapnya
nur ghaib.[10]
Agar hasil yang telah diperoleh jiwa ketika melakukan takhalli dan tahalli
tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan
yang dilkakukan dengan kesadaran dan rasa cinta dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada NYA.
Dasar
dari tajalli ini sebagaiman firman Allah, Q.S An Nur: 35 yang berbunyi:
ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
Setiap
calon sufi perlu mengadakan latihan latihan jiwa, berusaha membersihkan dirinya
dari sifat sifat tercela, mengosongkan hati dari sifat sifat hati, dan
melepaskan segala sangkut paut dengan dunia. Setelah itu mengisi dirinya dengan
sifat sifat terpuji, segal tindakannya selalu dalam rangka ibadah, memperbanyak
zikir, dan menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri
baik lahir maupun bathin. Seluruh hati semata mata di upayakan untuk memperoleh
tajalli dan menerima pancaran nur ilahi. Apabila Tuhan telah menembus hati
hambanya, dengan nur NYA maka berlimpah ruahlah karunia NYA. Pada tingkat ini
seorang hamba akan memperoleh cahaya yang terang benderang dan dadanya lapang.
Pada saat, jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama ini terhalangi oleh
kekotoran jiwa.
Jalan
menuju Allah menurut kaum sufi terdiri atas dua usaha, pertama mulazamah, yaitu
selalu berzikir. Kedua mukhalafah, selalu menghindarkan diri dari segala
sesuatu yang dapat melupakan NYA. Keadaan ini dinamakan safar kepada Tuhan.
Safar merupakan gerak dari satu pihak, tidak dari pihak yang datang (hamba) dan
tidak dari pihak yang di datang (Tuhan) tetapi pendekatan dari keduanya. Hal
tersebut sebagaiman firman Allah Q.S Qaaf: 16, yang berbunyi:
ôs)s9ur $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# ÞOn=÷ètRur $tB â¨Èqóuqè? ¾ÏmÎ/ ¼çmÝ¡øÿtR ( ß`øtwUur Ü>tø%r& Ïmøs9Î) ô`ÏB È@ö7ym ÏÍuqø9$# ÇÊÏÈ
Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya,
Para
sufi sependapat bahwa satu satu cara untuk mencapai tingkat kesempurnaan
kesucian jiwa, yaitu dengan mencintai Allah dan memperdalam rasa cinta
tersebut. Dengan kesucian jiwa, jalan untuk mencapai Tuhan akan terbuka.tanpa
jalan ini tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan dan perbuatan yang
dilakukanpun tidak dianggap sebagai perbuatan baik.
Dalam
menempuh jalan (tarekat) untuk memperoleh kenyataan Tuhan (tajalli), kaum sufi
berusaha melalui ridha, latihan latihan dan muhajadah (perjuangan) dengan
menempuh jalan, antara lain melalui suatu dasar pendidikan tiga tingkat yang
dinamakan: takhalli, tahalli dan tajalli.
Adapun
menenmpuh jalan suluk dengan sistim yang dinamakan: “muratabatu-thariqah” yang
terdiri dari empat tingkat: (seperti sistim yang dipakai tarekat
naqsabandiyah):
Ø Taubat
Ø Istiqamah: taat lahir dan bathin
Ø Tahzib: yang terdiri daru beberapa riadah/latihan seperti puasa,
mengurangi tidur dan menyendiri
Ø Taqarrub: mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan bershalawat
dan zikir terus menerus.
III.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas kita bisa mengambil kesimpulan:
1.
Takhalli
adalah membersihkan diri dari sifat sifat tercela dan kotoran hati
2.
Tahalli
adalah mengisi diri dengan sifat sifat terpuji dan menyinari hati
Tahalli juga dibagi kedalam tujuh tingkatan:
v Taubat
v Khauf dan Raja’
v Zuhud
v Fakir
v Sabar
v Ridha
v Muraqabah
3.
Tajalli
adalah kenyataan Tuhan
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
Al aziz, Moh. Saifulloh. 1998.
Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Terbit Terang.
Munir Amin, Samsul. 2012. Ilmu Tasawuf.
Jakarta : Amzah.
Zahri, DR. Mustafa. 1973. Kunci
Memahami ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
[1]
Drs. Samsul Munir Amin, MA. (Ilmu Tasawuf), Jakarta: Hamzah, 2012, Hal
209.
[2]
Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
hal 66.
[3]
DR. Mustafa Zahri., Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1973),
hal 74-75
[4]
Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz S., Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya:
Terbit Terang, 1998), hal 87
[5]
Drs. Samsul Munir Amin, MA. (Ilmu Tasawuf), Jakarta: Hamzah, 2012, Hal
213
[6]
Drs. Samsul Munir Amin, MA. (Ilmu Tasawuf), Jakarta: Hamzah, 2012, Hal 215
[7]
Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz S., Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya:
Terbit Terang, 1998), hal 94
[8]
Abdul Mustaqim., Akhlak tasawuf, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hal 95
[9]
Drs. Samsul Munir Amin, MA. (Ilmu Tasawuf), Jakarta: Hamzah, 2012, Hal
214-220
[10]
Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
hal 71
[11]
Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz S., Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya:
Terbit Terang, 1998), hal 95 I.
PENDAHULUAN
Tasawuf Akhlaki adalah ajaran
tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang
diformulasikan pada pengaturan sifat mental dan pendisiplinan tingkah laku
secara ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal. Manusia harus
mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri ketuhanan melalui penyucian
jiwa dan raga. Sebelumnya, dilakukan terlebih dahulu pembentukan pribadi yang
berakhlak mulia. Tahapan tahapan itu dalam ilmu tasawuf dikenal dengan takhalli
(pengosongan diri dari sifat sifat tercela), tahalli (menghiasi diri
dengan sifat sifat terpuji), tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati
yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan). [1]
Dalam
makalah ini akan membahas pokok masalah tentang:
1.
Apa
itu Takhalli?
2.
Apa
itu Tahalli?
3.
Apa
itu Tajalli?
II.
PEMBAHASAN
A.
TAKHALLI
Takhalli
berarti membersihkan diri dari sifat sifat tercela, dari maksiat lahir dan
maksiat bathin.[2]Maksiat
lahir, melahirkan kejahatan kejahatan yang merusak seseorang dan mengacaukan
masyarakat. Adapun maksiat bathin lebih berbahaya lagi, karena tidak kelihatan
dan biasanya kurang disadari dan sukar dihilangkan. Maksiat bathin itu adalah
pembangkit maksiat lahir dan selalu menimbulkan kejahatan kejahatan baru yang
diperbuat oleh anggota badan manusia. Dan kedua maksiat itulah yang mengotori
jiwa manusia setiap waktu dan kesempatan yang diperbuat oleh diri sendiri tanpa
disadari. Semua itu merupakan hijab atau dinding yang membatasi diri dengan
Tuhan.[3]
Sifat
sifat yang mengotori jiwa manusia itu adalah seperti dzalim, bakhil, berbuat
dosa besar, berlaku sia sia, berlebih lebihan dalam segala hal, bermegah megah,
khianat, dendam, dengki, dusta, kufur ni’mat, bunuh diri, ria, mencuri, sombong
dan meminum khamr.
Takhalli
juga berarti mengosongkan diri dari akhlak tercela. Salah satu akhlak tercela
yang paling banyak menyebabkan timbulnya akhlak tercela lainnya adalah
ketergantungan pada kenikmatan duniawi.
Membersihkan
diri sifat sifat tercela oleh kaum sufi dipandang penting karena sifat sifat
ini merupakan najis maknawi (najasah ma’nawwiyah). Adanya najis najis
ini pada diri seseorang, menyebabkannya tidak dapat dekat dengan Tuhan. Hal ini
sebagaimana mempunyai najis dzat(najasah dzatiayyah), yang menyebabkan
seseorang tidak dapat beribadah kepada Tuhan.
Dasar
dari ajaran tasawuf tentang takhalli ini adalah firman Allah Qs Asy-syams 9-10
yang berbunyi:
ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢y ÇÊÉÈ
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu,
Dalam
hal menanamkan rasa benci terhadap kehidupan duniawi serta mematikan hawa
nafsu, para sufi berbeda pendapat.
Sekelompok
sufi yang modern berpendapat bahwa kebencian terhadap kehidupan duniawi , yaitu
sekedar tidak melupakan tujuan hidupnya, namun tidak meninggalkan duniawi sama
sekali. Demikian pula dengan pematian hawa nafsu itu cukup dikuasai melalui
pengaturan disiplin kehidupan. Golongan ini tetap memanfaatkan dunia sekedar
kebutuhannya dengan mengontrol dorongan nafsu yang dapat mengganggu stabilitas
akal dan perasaan.
Sementara itu kelompok sufi yang ekstrim
berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi merupakan racun pembunuh kelangsungan cita
cita sufi. Persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan karena nafsu yang
bertendensi duniawi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan menuju tujuan
yaitu memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki.[5]
B.
TAHALLI
Tahalli
adalah upaya menghiasi diri dengan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan
kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak akhlak tercela. Tahalli juga
berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan perbuatan baik.
Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan
agama, baik kewajiban yang bersifat luar maupun yang bersifat dalam. Kewajiban
yang bersifat luar adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti sholat,
puasa, dan haji. Adapun kewajiban yang bersifat dalam, contohnya yaitu iman,
ketaatan, dan kecintaan kepada Tuhan.
Tahalli
merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli.
Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sikap mental yang
buruk dapat dilalui (takhalli), usaha itu harus berlanjut terus ketahap
berikutnya yang disebut tahalli. Sebab apabila satu kebiasaan telah dilepaskan
tetapi tidak ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi.
Oleh karena itu, ketika kebiasaan lama ditinggalkan harus segala di isi
kebiasaan baru yang baik.[6]
Dasar
dari tahalli ialah firman Allah Q.S An Nahl: 90 yang berbunyi:
* ¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs?
ÇÒÉÈ
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[7]
Menurut
Al Ghazali, jiwa manusia dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan dibentuk sesuai
dengan kehendak manusia itu sendiri. Perbuatan baik yang sangat penting di isikan
kedalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan agar menjadi manusia
paripurna (insane kamil). Perbuatan baik itu, antara lain sebagai berikut:
a.
Taubat
Kebanyakan sufi menjadikan taubat sebagai perhentian awal dijalan
menuju Allah. Pada tingkatan terendah, taubat menyangkut dosa yang dilakukan
anggota badan. Pada tingkat menengah, taubat menyangkut pangkal dosa dosa,
seperti dengki, sombong, dan ria. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat
menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa
bersalah. Pada tingkat terakhir, taubat berarti penyesalan atas kelengahan
pikiran dalam mengingat Allah. Taubat pada tingkat ini adalah penolakan
terhadap segala sesuatu yang dapat memalingkan dari jalan Allah.
Al Ghazali mengklasifikasikan taubat menjadi tiga tingkatan yaitu:
·
Meninggalkan
kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut
terhadap siksa Allah.
·
Beralih
dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi. Dalam
tasawuf keadaan ini sering disebut dengan inabah
·
Rasa
penyeslan yang dilakukan semata mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah
hal ini disebut aubah
b.
Khauf dan Raja’
Bagi kalangan sufi khauf dan raja’ berjalan seimbang dan saling
mempengaruhi. Khauf adalah perasaan takut seorang hamba semata mata kepada
Allah, sedangkan Raja’ adalah perasaan hati yang senag karena menati sesuatu
yang diinginkan dan disenangi.
Menurut Al Ghazali, Raja’ adalah rasa lapang hati dalam menantikan
hal yang diharapkan pada masa yang akan datang yang mungkin terjadi. Raja’
merupakan sikap hidup yang selalu mendorong seseorang untuk lebih banyak
berbuat dan beramal shaleh sehingga menjadi taat kepada Allah dan Rasul NYA.
Biasanya orang yang memiliki sikap Raja’ juga memiliki sikap Khauf.
Khauf dan raja’ saling berhubungan, kekurangan Khauf akan
menyebabkan seseorang lalai daan berani berbuat maksiat, sedangkan Khauf yang
berlebihan akan menjadikan seseorang menjadi putus asa dan pesimistis.
Keseimbangan antara Khauf dan Raja’ sama sama penting karena tanpa Raja’, orang
akan serba khawatir, tidak mempunyai gairah hidup, serba takut, dan pesimistis.
Dimilikinya Khauf dalam kadar sedang akan membuat orang senatiasa waspada dan
hati hati dalam berperilaku agar terhindar dari ancaman.
Dengan dmikian dua sikap tersebut merupakan sikap mental yang
bersifat introspeksi, mawas diri, dan selalu memikirkan kehidupan yang akan
datang, yaitu kehidupan abadi di alam akhirat.
c.
Zuhud
Zuhud yaitu ketidak tertarikan pada dunia atau harta benda. Zuhud
terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu:
v Zuhud yang terendah adalah menjauhkan diri dari dunia ini agar
terhindar dari hukuman di akhirat.
v Menjauhi dunia dengan menimbang imbalan akhirat
v Merupakan maqam tertinggi adalah mengucilkan dunia bukan karena
takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah.
Orang yang
berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah,
tidak mempunyai arti apa apa. Sesuai dengan pandangan sufi, hawa nafsu
duniwilah yang menjadi sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan
seseorang kepada hawa nafsu, mengakibatkan kebrutalan dalam mengejar kepuasan
nafsunya. Dorongan jiwa yang ingin menikmati kehidupan dunia akan menimbulkan
kesenjangan antar manusia dengan Allah.
Al Ghazali
mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterikatan kepada dunia untuk
kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran.
Al Qusyairi mengartikan
zuhud sebagai suatu sikap menerima rezeki yang diperolehnya. Jika kaya, ia
tidak merasa bangga dan gembira. Sebaliknya, jika miskin iapun tidak bersedih.
Hasan Al Bashri
mengatakan bahwa Zuhud itu meninggalkan kehidupan dunia kerena dunia itu seperti
ular, licin jika dipegang tetapi racunnya dapat membunuh.
Inti dan tujuan
zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir.
d.
Fakir
Fakir bermakna tidak menuntut lebih banyak dan merasa puas dengan
apa yang sudah dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental
fakir merupakan benteng pertahana yang kuat dalam menghadapi pengaruh dalam
menghadapi kehidupan materi. Hal ini karena sikap fakir dapat menghindarkan
seseorang dari semua keserakahan. Dengan demikian, pada prinsipnya sikap mental
fakir merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi
kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya sekadar pendisiplinan diri dalam
memanfaatkan fasilitas hidup. Sikap fakir dapat memunuculkan sikap wara’, yaitu
sikap berhati hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas
masalahnya. Apabila bertemu dengan satu persoalan baik yang bersifat materi
maupun non materi yang tidak pasti hukumnya lebih baik dihindari.
e.
Sabar
Menurut Al Ghazali, sabar adalah suatu kondidi jiwa yang terjadi
karena adanya dorongan ajaran agama dalam mengendalikan hawa nafsu. Dengan
demikian, sabar berarti konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah,
menghadapi kesulitan, dan tabah dalam menghadapi cobaan selama dalam perjuangan
untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, sabar erat hubungannya dengan
pengendalian diri, sikap dan emosi. Apabila seseorang telah mapu mengendalikan
nafsunya, maka sikap sabar akan tercipta.
Tercapainya karakter sabar merupakan respon dari keyakinan yang dipertahankan.
Keyakinan adalah landasan sabar, apabila seseorang telah yakin bahwa jlan yang
ditempuhnya benar, maka ia akan teguh dalam pendiriannya walaupun menghadapi
tantangan.
Al Ghazali membedakan tingkatan sabar, menjadi iffah, hilm, qana’ah
dan syaja’ah. Iffah ialah kemampuan mengatasi hawa nafsu. Hilm merupakan
kesanggupan seseorang menguasai diri agar tidak marah. Qana’ah yaitu ketabahan
hati untuk meneriman nasib. Adapun syaja’ah yaitu sifat pantang menyerah.
f.
Ridha
Menurut Ibnu Ajibah, ridha adalah menerima hal hal yang tidak
menyenangkan dengan wajah senyum ceria. Seorang hamba dengan senag hati
menerima qadha dari Allah dan tidak mengingkari apa yang telah menjadi
keputusanNYA.[8]
Sikap mental ridha merupakan perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang
diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati untuk berkorban
demi yang dicintai. Seorang hamba yang ridha, ia rela menuruti apa yang
dikehendaki Allah dengan senang hati, sekaligus tidak dibarengi sikap menentang
dan menyesal.
g.
Muraqabah
Muraqabah adalah mawas diri. Muraqabah mempunyai arti yang mirip
dengan introspeksi. Dengan kata lain, muraqabah adalah siap dan siaga setiap
saat untuk meneliti keadaan sendiri. Seorang calon sufi sejak awal sudah
diajarkan bahwa dirinya tidak pernah lepas dari pengawasan Allah. Seluruh
aktifitas hidupnya ditujukan untuk berada sedekat mungkin denganNYA. Ia sadar
bahwa Allah “memandang” NYA. Kesadaran itu membawanya pada satu sikap mawas
diri atau muraqabah.[9]
C.
TAJALLI
Tajalli ialah hilangnya hijab dari sifat sifat
kebasyariyyahan (kemanusiaan), jelasnya nur yang sebelumnya ghaib, dan fananya
segala sesuatu ketika tampaknya wajah Allah. Kata tajalli bermakna terungkapnya
nur ghaib.[10]
Agar hasil yang telah diperoleh jiwa ketika melakukan takhalli dan tahalli
tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan
yang dilkakukan dengan kesadaran dan rasa cinta dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada NYA.
Dasar
dari tajalli ini sebagaiman firman Allah, Q.S An Nur: 35 yang berbunyi:
ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
Setiap
calon sufi perlu mengadakan latihan latihan jiwa, berusaha membersihkan dirinya
dari sifat sifat tercela, mengosongkan hati dari sifat sifat hati, dan
melepaskan segala sangkut paut dengan dunia. Setelah itu mengisi dirinya dengan
sifat sifat terpuji, segal tindakannya selalu dalam rangka ibadah, memperbanyak
zikir, dan menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri
baik lahir maupun bathin. Seluruh hati semata mata di upayakan untuk memperoleh
tajalli dan menerima pancaran nur ilahi. Apabila Tuhan telah menembus hati
hambanya, dengan nur NYA maka berlimpah ruahlah karunia NYA. Pada tingkat ini
seorang hamba akan memperoleh cahaya yang terang benderang dan dadanya lapang.
Pada saat, jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama ini terhalangi oleh
kekotoran jiwa.
Jalan
menuju Allah menurut kaum sufi terdiri atas dua usaha, pertama mulazamah, yaitu
selalu berzikir. Kedua mukhalafah, selalu menghindarkan diri dari segala
sesuatu yang dapat melupakan NYA. Keadaan ini dinamakan safar kepada Tuhan.
Safar merupakan gerak dari satu pihak, tidak dari pihak yang datang (hamba) dan
tidak dari pihak yang di datang (Tuhan) tetapi pendekatan dari keduanya. Hal
tersebut sebagaiman firman Allah Q.S Qaaf: 16, yang berbunyi:
ôs)s9ur $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# ÞOn=÷ètRur $tB â¨Èqóuqè? ¾ÏmÎ/ ¼çmÝ¡øÿtR ( ß`øtwUur Ü>tø%r& Ïmøs9Î) ô`ÏB È@ö7ym ÏÍuqø9$# ÇÊÏÈ
Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya,
Para
sufi sependapat bahwa satu satu cara untuk mencapai tingkat kesempurnaan
kesucian jiwa, yaitu dengan mencintai Allah dan memperdalam rasa cinta
tersebut. Dengan kesucian jiwa, jalan untuk mencapai Tuhan akan terbuka.tanpa
jalan ini tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan dan perbuatan yang
dilakukanpun tidak dianggap sebagai perbuatan baik.
Dalam
menempuh jalan (tarekat) untuk memperoleh kenyataan Tuhan (tajalli), kaum sufi
berusaha melalui ridha, latihan latihan dan muhajadah (perjuangan) dengan
menempuh jalan, antara lain melalui suatu dasar pendidikan tiga tingkat yang
dinamakan: takhalli, tahalli dan tajalli.
Adapun
menenmpuh jalan suluk dengan sistim yang dinamakan: “muratabatu-thariqah” yang
terdiri dari empat tingkat: (seperti sistim yang dipakai tarekat
naqsabandiyah):
Ø Taubat
Ø Istiqamah: taat lahir dan bathin
Ø Tahzib: yang terdiri daru beberapa riadah/latihan seperti puasa,
mengurangi tidur dan menyendiri
Ø Taqarrub: mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan bershalawat
dan zikir terus menerus.
III.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas kita bisa mengambil kesimpulan:
1.
Takhalli
adalah membersihkan diri dari sifat sifat tercela dan kotoran hati
2.
Tahalli
adalah mengisi diri dengan sifat sifat terpuji dan menyinari hati
Tahalli juga dibagi kedalam tujuh tingkatan:
v Taubat
v Khauf dan Raja’
v Zuhud
v Fakir
v Sabar
v Ridha
v Muraqabah
3.
Tajalli
adalah kenyataan Tuhan
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
Al aziz, Moh. Saifulloh. 1998.
Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Terbit Terang.
Munir Amin, Samsul. 2012. Ilmu Tasawuf.
Jakarta : Amzah.
Zahri, DR. Mustafa. 1973. Kunci
Memahami ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
[1]
Drs. Samsul Munir Amin, MA. (Ilmu Tasawuf), Jakarta: Hamzah, 2012, Hal
209.
[2]
Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
hal 66.
[3]
DR. Mustafa Zahri., Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1973),
hal 74-75
[4]
Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz S., Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya:
Terbit Terang, 1998), hal 87
[5]
Drs. Samsul Munir Amin, MA. (Ilmu Tasawuf), Jakarta: Hamzah, 2012, Hal
213
[6]
Drs. Samsul Munir Amin, MA. (Ilmu Tasawuf), Jakarta: Hamzah, 2012, Hal 215
[7]
Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz S., Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya:
Terbit Terang, 1998), hal 94
[8]
Abdul Mustaqim., Akhlak tasawuf, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hal 95
[9]
Drs. Samsul Munir Amin, MA. (Ilmu Tasawuf), Jakarta: Hamzah, 2012, Hal
214-220
[10]
Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
hal 71
[11]
Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz S., Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya:
Terbit Terang, 1998), hal 95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar